30.10.14

Kembali ke awal

Yah, mau tidak mau aku mendengar omongan-omongan orang yang tidak mau aku dengar lagi, blog. Harus menerima tatapan kasihan orang pada aku lagi. Mengulang kondisi dan situasi yang dulu pernah beberapa kali aku lewati. 

Mereka bilang aku bodoh. Karena membuka pintu lagi. Karena menutup pintu untuk orang-orang baru. Haha. Aku begitu karena semuanya sempat terasa begitu indah, belum ada lagi yang bisa membuat aku se-nyaman ketika bersama dia. Siapa yang sanggup menghentikan semuanya ketika sesuatu tersebut sedang indah-indahnya? 

Tapi apa mereka benar bahwa aku memang bodoh? Tapi kenapa akhirnya selalu seperti ini, ya? Jadi pihak yang ditinggalkan lagi. Jadi pihak yang sedih-sedihan lagi. Capek juga. Ah, dia bilang jangan terlalu pikirin apa kata orang. Tapi kenapa aku tidak bisa, ya. Aku masih peduli apa kata orang. Sehingga ketika mereka bilang aku bodoh, aku semakin benci diriku sendiri karena aku tidak bisa menyangkalnya. 

Jujur, tidak mudah, sangat tidak mudah untuk aku berada di posisi seperti ini lagi untuk ke sekian kalinya. Tapi ini cara yang menurut aku paling bisa aku lakukan. Menghindar dari semuanya. Berteman dengan musik, laptop, tempat sepi, kesendirian dan gelap malam. Pulang cepat. Tidak berinteraksi banyak dengan teman-teman termasuk dengan dia. Cara apalagi yang bisa aku lakukan untuk menyembunyikan kesedihan selain menjauh dari semua orang? Cara apalagi yang bisa aku lakukan untuk menghindar dari hal-hal yang membuat aku sakit ketika aku melihatnya?

Dia bilang ngapain mikirin yang kayak begini terus? Disamping kita masih punya kewajiban yaitu belajar. Tapi, aku bukan hanya punya otak untuk belajar, aku juga masih punya hati untuk merasakan sesuatu. Coba pikir, memangnya siapa yang mau sedih terus menerus? Aku juga tidak mau kok. Tapi siapa sih yang bisa mengontrol hati? Siapa sih yang bisa mengontrol hati untuk tidak jatuh lagi kepada dia?

Tapi, kalau memang dia maunya seperti ini. Kalau memang dia maunya pergi dan kembali kesana. Siapa bisa larang. Siapa bisa cegah. Aku tidak punya andil karena aku bukan siapa-siapa. Aku hanya bisa,

pergi dan kembali sendiri.

Lagi dan lagi

Aku tahu, sudah dua bulan absen dari blog ini. Ya, beberapa bulan kemarin dunia maya kalah indah dibanding dunia nyata. Beberapa bulan kemarin aku sedang berada di atas roda. Menjalani setiap harinya dengan semua warna kecuali hitam. Setidaknya itu yang aku rasakan, bahagia.

Tapi mulai hari ini, sepertinya aku akan kembali menulis di blog ini. Karena dunia nyata tidak bekerja sesuai yang aku inginkan. Maaf blog, kamu harus aku jadikan pelarian ketika aku sedang di bawah roda. Karena aku tidak tahu lagi kemana aku harus mengadu. Mungkin teman-temanku sudah bosan mendengar cerita seperti ini. Mungkin teman-temanku sudah bosan memberi saran yang akhirnya tidak pernah aku dengar. Mungkin teman-temanku sudah bosan melihat muka jelekku ketika air mata itu jatuh terus menerus. Lagian aku juga sudah malu sama teman-temanku kalau terus menerus cerita masalah ini, kalau terus menerus cerita bahwa aku jatuh lagi ke lubang yang sama. Aku jadi berpikir, apa mereka masih mau menghapus air-air di mataku? Syukur-syukur masih mau mendengar ceritaku. Ya, aku kira seperti itu. 

Bicara soal kamu blog, yang selalu aku jadikan pelarian. Aku pikir itu yang sedang aku rasakan. 

Awalnya aku bisa menerima kalau dia pergi dengan alasan yang seperti itu.
Tapi kenapa akhir2 ini alasannya semakin memudar? Dia tidak bohong kan, blog?

Awalnya aku masih tenang karena walaupun keadaan seperti ini, dia akan selalu ada.
Tapi kenapa akhir2 ini bayangannya semakin menjauh? Dia tidak bohong kan, blog?

Awalnya aku percaya dia tidak akan kembali kepada sesuatu yang selalu dia tepis.
Tapi kenapa akhir2 ini tandanya semakin jelas? Dia tidak bohong kan, blog?

Haha dipikir2 ngapain aku nanya ke kamu ya, blog. Toh, tidak akan terjawab. Tapi untuk nanya langsung, aku terlalu takut akan jawabannya.

Aku sadar, aku menyesal karena diriku sendiri. Aku hanya merasa aku menyia-nyiakan kesempatan. Ketika dia bersamaku, mungkin usahaku untuk jadi yang terbaik untuknya kurang? Yang aku bisa hanya lebih meyakinkan dia kalau aku tidak bisa menjadi rumah untuk dia. Apa ini memang takdir? Untuk selalu dijadikan pelarian? Untuk selalu dijadikan pilihan? Ah, sejahat itu ya semesta?