14.11.13

Reverse

Saya, bukan mereka yang bisa membuka pintu segampang membalikkan telapak tangan saat ada yang mengetuknya. Karena memang dari peristiwa-peristiwa yang pernah saya alami, saya juga belajar agar semua pahit tidak terulang lagi. Maka dari itu setiap ada yang 'mengetuk pintu', saya selalu berusaha tidak langsung membukanya namun sedikit 'mengintrogasinya' dari segala sisi. 

Senang mendengarnya saat ada kabar burung bahwa ada yang menjaga kita tanpa menjaga kita. Mencurahkan perhatiannya hanya dibalik tembok atau hanya melalui sudut matanya. Memperhatikan namun tidak butuh diperhatikan. Membuat ukiran wajah kita di atas kanvas. Bersenandung merdu untuk kita di tengah keramaian saat kita tidak ada di matanya. Menanyakan kabar kita pada yang lain tanpa ingin diketahui. Dan mengetahui setiap hal kecil yang terjadi pada kita.

Sampai akhirnya memberanikan diri agar secercah interaksi terjadi. Bersemu pipi, berdebar hati, membeku darah. Ini tidak biasa. Tidak biasa. Kenapa tiga hal tersebut terjadi. Hanya sepersekian bagian dari saya yang tau.

Namun pintu saya tetaplah pintu saya, sedikit lebih rapuh dari yang lain sehingga tidak dapat dibuka begitu saja. Perlu ada yang memperbaiki agar dapat dibuka. Saat saya rasa bahwa pintu cukup kuat untuk dibuka, keadaan berbalik. Perlahan menghilang, lenyap dan akhirnya ketukan itu tak ada lagi. Terkadang sakit, sakit berjenis menyesal mungkin? Ingin yang lebih abadi, namun setelah mendapat sedikit keyakinan, semua harapan hilang tak berbekas. Mungkin cara saya yang salah? 

Untuk sekarang masih menunggu, tapi untuk satu menit yang akan datang, satu jam yang akan datang, satu hari yang akan datang, satu minggu yang akan datang, satu bulan yang akan datang atau seterusnya, saya tidak tau. Jika kelelahan menjangkit, mungkin saya akan selesai menunggu dan takkan pernah lagi menunggu. Mungkin akan ada selamat tinggal yang tidak dapat tersurat namun hanya bisa tersirat.  

Satu kata, maaf. Untuk dahulu.
Satu kata, maaf. Saya terlambat.

1 komentar: